Kehidupan awal
Iwa lahir di Ciamis, Jawa Barat, pada tanggal 31 Mei 1899. Setelah
menyelesaikan pendidikan dasar di sekolah yang dikelola oleh pemerintah
kolonial Belanda, ia berangkat ke Bandung,
di mana ia masuk di Sekolah Pegawai Pemerintah Pribumi (Opleidingsschool
Voor inlandse Ambtenaren, atau OSVIA ). Tidak mau mengadaptasi budaya Barat
dalam menuntut ilmu di sekolah, ia keluar dan pindah ke Batavia (sekarang
Jakarta) untuk masuk di sekolah hukum,[1] sementara
ketika di ibukota kolonial tersebut, ia juga bagian dari Jong Java, sebuah organisasi untuk pemuda
Jawa.[2]
Iwa lulus pada tahun 1921
dan melanjutkan studinya di Universitas Leiden di Belanda. Di negara itu ia bergabung
dengan Serikat Indonesia (Indonesische Vereeniging), sebuah kelompok nasionalis para intelektual Indonesia.[1] Dia
menekankan bahwa Indonesia harus bekerja sama, terlepas dari ras, keyakinan,
atau kelas sosial, untuk memastikan kemerdekaan dari Belanda; ia menyerukan
tentang non-kerjasama dengan kekuatan-kekuatan kolonial.[2] Pada tahun 1925 ia pindah ke Uni Soviet untuk
menghabiskan setengah tahun belajar di Universitas Komunis kaum tertindas dari Timur di Moskow. Di Uni Soviet ia sempat menikah dengan
seorang wanita Ukraina bernama
Anna Ivanova; keduanya memiliki seorang putri, bernama Sumira Dingli. [3]
Setelah kembali ke Hindia tahun 1927, Iwa
bergabung dengan Partai Nasional
Indonesia dan bekerja
sebagai pengacara. Dia kemudian pindah ke Medan, Sumatera Utara, di mana ia mendirikan surat
kabar Matahari
Terbit; koran yang mengaspirasi hak-hak pekerja dan mengkritik
perkebunan milik Belanda yang besar di daerah itu. Karena tulisan-tulisannya,
dan mengikuti upaya untuk mengorganisir serikat dagang, pada 1929 Iwa ditangkap oleh
pemerintah kolonial Belanda dan menghabiskan satu tahun di penjara[2] sebelum
dibuang ke Banda Neira, diKepulauan Banda, untuk jangka waktu sepuluh
tahun.[4] Dan
pada tahun 1929 tersebut Iwa memimpin media Matahari
Indonesia.[5]
Sementara ketika di Banda Iwa menjadi seorang Muslim yang taat, namun ia terus
percaya pada nilai Marxisme. Dia juga bertemu beberapa tokoh
nasionalis terkemuka yang juga ada di pengasingan, termasuk Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tjipto Mangunkusumo.[6] Iwa
kemudian kembali ke Batavia dan, selama
pendudukan Jepang (1942-1945) dioperasikan sebuah firma hukum di sana.[1] Ia
juga memberikan beberapa kuliah tentang penyebab nasionalis, di bawah
pengawasan ketat pasukan pendudukan Jepang.[7]
Pasca-kemerdekaan
Sebagai akibat dari kekalahan Jepang di
Pasifik yang semakin jelas, pemimpin nasionalis Indonesia mulai mempersiapkan
kemerdekaan. Iwa menyarankan penggunaan istilah proklamasi, yang akhirnya
digunakan,[8] dan
membantu menyusun UUD 1945,[9] Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945.[10]
Selama bulan-bulan awal revolusi yang kemudian
diikuti dengan proklamasi, Iwa bekerja sama dengan elemen baru, pribumi, dan
pemerintah. Pada tanggal 31 Agustus ia terpilih sebagai Menteri Sosial dalam kabinet pertama di bawah
Presiden Soekarno. Dia menjabat sampai November 1945.
Ia kemudian bergabung dengan Persatuan Perjuangan, yang dipimpin oleh Tan
Malaka.[10] Ia
dituduh terlibat dan sempat ditahan karena didakwa terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946,
yang menyebabkan pemerintah Indonesia memenjarakannya; tahanan lainnya termasuk Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, dan Tan Malaka.[1]
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada
tahun 1949, dan di Republik
Indonesia Serikat yang
baru ini, Iwa menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat hingga 1950.[10] Pada
tahun 1953 Iwa terpilih sebagai Menteri Pertahanan Pertama di Kabinet Ali Sastroamidjojo, di bawah Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo;
masa jabatannya berlangsung sampai tahun 1955. Pada
tahun 1957 Iwa menjadi rektor di Universitas Padjadjaran di Bandung. Istilah politik terakhir,
1963-1964, adalah sebagai menteri untukKabinet Kerja IV.[1]
Setelah pensiun dari
politik Iwa menulis panjang lebar, yang sering bertema tentang sejarah. Karya
yang diterbitkan dalam periode ini termasuk Revolusi
Hukum di Indonesia,Sejarah Revolusi Indonesia (dalam tiga jilid). Pokok-Pokok dan Ilmu Politik (Muamalah Politik).[10] Dia
meninggal pada 27 November 1971 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.[1]
Pada 6 November 2002 Iwa dinyatakan sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia